Rabu, 02 Juli 2008

Affirmative Action Politik Perempuan




KERIUHAN panggung politik pemilihan gubernur memperlihatkan masih minimnya keterlibatan politik perempuan. Di mana hanya ada satu perempuan di antara enam kandidat gubernur dan wakil gubernur. Dunia politik sepertinya bukan kuasa dunia perempuan.

Sebelumnya dalam Pemilu 1999 dan 2004 yang berlanjut dengan pemilihan kepala daerah kabupaten/kota, menunjukkan gejala yang sama. Tingkat keterlibatan perempuan baik sebagai anggota partai politik maupun anggota parlemen serta institusi formal politik lainnya, belum memberikan harapan yang baik bagi keterwakilan perempuan di dalam politik formal.

Di Jawa Tengah, keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah. Padahal, persentase perempuan mencapai 50,19% lebih banyak dibandingkan dengan penduduk pria yang 49,81% dari jumlah penduduk provinsi ini 32 juta jiwa.

Persentasi peranan kaum perempuan di lembaga formal seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) hanya 4,66%, peran kepala desa 2,29%, dan keterwakilan di DPRD Jateng hanya 16%.

Dari hasil studi CETRO (2001), pemilu 2004, harapan mendapat 30% perempuan di DPR hanya terpenuhi 11,27%. Hal ini terjadi karena adanya pelanggaran dalam menetapkan calon tetap anggota legislatif oleh elite-elite partai politik yang diskriminatif terhadap perempuan.

Kasus yang terjadi, perempuan yang daerah pemilihannya sudah memenangkan suara pada pemilu, harus mengalah pada keputusan elite partai politik yang menempatkan laki-laki sebagai calon tetap.

Hal ini dikarenakan partai menempatkan banyak perempuan dalam daftar calon legeslatif, tetapi mendudukkannya pada urutan terbawah. Akibatnya, perempuan yang mendapat suara lebih besar daripada caleg pada nomor urut atas harus memberikan suaranya kepada caleg di nomor atas itu. Sampai memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP).

Keistimewaan

Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, di mana jaminan pelaksanaannya harus ada dalam konstitusi dan UU.

Tuntutan demokrasi, komposisi anggota lembaga perwakilan merupakan refleksi dari komposisi masyarakat. Hal yang serupa pada keterwakilan perempuan. Pentingnya represenstasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik bukan sekadar disuarakannya aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Partai politik, pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat sangat didominisai laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik dan terlalu mendominasi perpolitikan.

Sementara itu, banyak keprihatinan, nilai, kepentingan, aspirasi, dan prioritas perempuan yang membentuk lebih dari separo warga negara dan penduduk di negeri ini diabaikan. Nilai, aspirasi, kepentingan, keprihatinan, dan prioritas perempuan yang berbeda dari laki-laki perlu lebih disuarakan untuk mengimbangi dominasi nilai, aspirasi, kepentingan, dan prioritas laki-laki dalam perpolitikan.

Dalam budaya dan praktik politik yang sangat patriarkis, tanpa penerapan kebijakan afirmatif, maka pemilihan umum atau kepala daerah hanya akan melanggengkan dominasi laki-laki di arena politik. Telah terbukti jika jumlah representasi perempuan di arena politik dan dalam proses pengambilan keputusan signifikan, maka perempuan bisa membuat perbedaan dan mereka bisa memengaruhi keputusan atau kebijakan yang diambil.

Dengan pemahaman sedemikian, aspirasi, kepentingan, kebutuhan, atau prioritas perempuan tidak dapat sekadar diperhitungkan dalam dalam proses pengambilan keputusan, perempuan harus merepresentasikan diri sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan, dan prioritasnya dalam arena pengambilan keputusan. (37)

– Haris Halimi, aktif di Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI)