Rabu, 29 Juli 2009

Membangun Jejaring Media Watch

Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) didukung Yayasan TIFA Jakarta menyelenggarakan beberapa kegiatan untuk membangun jejaring masyarakat peduli media dan literasi media. Program ini akan berjalan dalam kurun Juli-Oktober 2009.

Kegiatan awal adalah pemantauan 6 media cetak di Jawa Tengah dengan isu utama Perempuan dan Anak. Acara lainnya adalah workshop bersama elemen-elemen masyarakat dan LSM dari Solo dan Semarang untuk membangun komunitas peduli media. Acara ini akan dilaksanakan pada 7-8 Agustus 2009 di Hotel Horison, Semarang.

Rabu, 11 Maret 2009

10 Tahun LeSPI


Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) telah berusia10 tahun dari awal berdiri pada 1999. Segenap sahabat, relasi, dan kawan silahkan memberi masukan dan kritikan tentang apa yang sudah Kami lakukan selama sekian tahun. Kami sangat terbuka menerimanya melalui email: programlespi@gmail.com, programlespi@yahoo.com, atau HP 081 225 208008. Salam - Program LeSPI.

Rabu, 06 Agustus 2008

Beker & Ponsi di TVKU Semarang


BEKER & PONSI

LeSPI bekerjasama dengan TVKU didukung oleh Biro Humas Setda Jateng dan UNICEF akan menayangkan program MYRA (Media Yang Ramah Anak) di TVKU Semarang. Acara akan tayang tiap Kamis, Pukul 15.30-16.30 WIB. Kemasan program adalah talkshow interaktif melibatkan anak sebagai pelaku.
MYRA memiliki ikon si Beker dan Ponsi (animasi) yang akan muncul di setiap episode. Tema talkshow berganti-ganti dengan isu seputar pemilihan media yang ramah anak.

Rabu, 02 Juli 2008

Karena Lemah, Imbalan Lebih Sedikit

”Sekarang semua serba susah, Nggak tahu nanti gimana hidup saya dan keluarga. Berat rasanya, apalagi saya adalah orang tua tunggal bagi anak-anak,” ungkap Ninuk, perempuan pemepe ikan di Pantai Sari, Pekalongan, Jateng.


KEHIDUPAN perempuan di pesisir utara, terutama Pekalongan memang tak lepas dari dunia batik dan perikanan. Maklum, potensi ekonomi kota yang berbatasan dengan Kendal dan Pemalang ini memang masih mengandalkan aktivitas bisnis di sektor itu. Tak ayal kehidupan masyarakatnya juga sangat tergantung dari pendapatan di sektor tersebut.

Ninuk adalah salah satu buruh ``mepe`` ikan di wilayah Pantai Sari. Tiga tahun lalu dia terpaksa menjadi single parent bagi kedua anaknya. Sang suami sudah meninggal. Awalnya sama sekali tak terpikir bahwa perempuan berusia 55 tahun itu akan bekerja, karena hidup sekeluarga cukup mengandalkan nafkah dari kepala rumah tangga. Tapi ketika ayah dari Rio dan Gabe harus berpulang lebih dahulu, mau tak mau Ninuk harus mengambil alih kemudi rumah tangga.

Setiap hari dia berangkat dari rumah pukul tujuh pagi dengan berjalan kaki menuju tempat kerja, yaitu tempat pengepakan ikan milik Pak Adam. Itu dilakukan setelah mempersiapkan makan pagi kedua anaknya dan membersihkan rumah. Tak keberatan rasanya dia bangun lebih awal agar kedua anaknya tidak ”kapiran”.
Memakai baju seadanya berlengan panjang, topi lusuh, dan sepatu boot Ninuk siap bekerja hingga pukul lima sore. Topi lusuh dan baju lengan panjang untuk menangkap panasnya matahari.

Sepatu boot digunakan untuk melindungi kaki apabila rob menggenang tempat penjemuran ikan. Tidak hanya mepe atau menjemur ikan. Pekerjaan mereka meliputi mepe, memilah, mengepak hingga menimbang ikan untuk dikirim ke pemesan. Sebelum dijemur, ikan lebih dahulu dicuci. Bagian mencuci ikan biasanya dilakukan oleh buruh laki-laki.

``Tenaganya lebih kuat. Lagi pula setelah dicuci di tempat terpisah dari penjemuran dan pengepakan, ikan-ikan itu harus diangkut dengan songkro (gerobak--Red) yang membutuhkan tenaga besar,`` kilah Pak Adam.

Gaji Pria Lebih Tinggi

Menurut keterangan laki-laki berkulit legam ini, buruh laki-laki dibayar lebih tinggi, yaitu Rp. 20.000,00 per hari karena dinilai bekerja lebih berat dibanding perempuan. Tetapi tak dapat dimungkiri, untuk mepe dan mengepak ikan memerlukan jasa perempuan karena dianggapnya lebih teliti dalam melakukan pekerjaan.

”Kalau tidak ada perempuan-perempuan itu ya cotho. Laki-laki di sini nggak ada yang mau kerja mepe ikan, karena mereka kebanyakan malas, nggak telaten.” Pemepe ikan di tempatnya adalah perempuan-perempuan yang sudah cukup lama bekerja dengannya.

Suka-duka buruh mepe ikan seperti Ninuk cukup beragam. ”Sukanya itu kalau lagi kerja ya seneng, bisa ketemu teman. Kalau di rumah kan nggak enak. Nglangut. Nggak enaknya kadang pegel-pegel kalau lelangan ikan banyak.” Selain Ninuk, ada delapan pemepe ikan lain yang semuanya perempuan. Mereka bahu-membahu bekerja di tempat pengepakan ikan itu. Samproni misalnya.

Sudah lima tahun bekerja menjadi pemepe ikan. Mereka tak pernah mengeluh meski dibayar Rp12.000 per hari. Kalau ada lembur, mereka mendapat tambahan bayaran per jam Rp 2000 Sama seperti Ninuk, Samproni yang berusia 47 tahun itu merasa senang bisa bercanda setiap hari di tempat kerja bersama teman-teman; bisa menghibur hati dan membantu mencari nafkah untuk suaminya yang juga buruh pencuci ikan di tempat lain.

Tetapi sayangnya, mereka tidak bisa selamanya setiap hari bersama. Pasokan ikan mulai sulit. Belakangan beberapa pemilik kapal malah menjual kapal karena banyak yang bangkrut. Kalau sebelumnya lelangan terbanyak bisa hingga 60 kali per hari, kini jarang dialami karena pasokan ikan sulit.

Sehari ada tujuh kali lelang. Tiap 1 kali lelang berisi 12 basket dengan berat ikan 30 kilogram. Itu sudah cukup memadai. Sangat jauh memang dibanding sebelumnya. Pak Adam yang sudah belasan tahun menekuni usaha pengepakan ikan mengatakan, kapal mulai jarang memasok ikan sejak 3 tahun terakhir. Bahkan beberapa pemilik menjual kapal karena bangkrut.

``Mereka jual kapal karena nggak kuat bayar BBM. Soalnya harga barang-barang dan lainnya ikut naik. Pengusaha kecil seperti Saya ini semakin berat. Nyari ikan susahnya minta ampun.

Masih mending ada kapal, banyak malah yang sudah gulung tikar. Pabrik di depan juga sudah tutup. Padahal itu milik pengusaha besar. Banyak orang-orang nganggur. Nggak tahu lagi apa yang terjadi nanti kalau harga BBM terus naik,`` ungkap Pak Adam sambil menunjuk pabrik di depan tempat pengepakan ikan miliknya yang sudah tidak beroperasi lagi.

Tidak adanya pasokan akan sangat berpengaruh pada penghasilan perempuan-perempuan pemepe ikan. Sebulan mereka bisa bekerja hanya 15 hari. Setelah itu menganggur, menunggu ada panggilan berikutnya. Ninuk tidak mempunyai pekerjaan sampingan lain.

Kalau tidak ada pasokan ikan, dia hanya menjalankan aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Pagi menyiapkan makan untuk anak, bersih-bersih rumah, dan istirahat sambil meng-hibur hati. Tak ada yang bisa dilakukan lagi selain hanya pasrah kepada keadaan.

Meski lulus SMP dia tidak punya cukup kenalan dan informasi untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Sebisa mungkin uang hasil mepe ikan diatur sedemikian rupa untuk mencukupi kehidupan rumah tangganya, meski hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan biaya sekolah anak bungsunya yang kini menginjak bangku sekolah menengah pertama itu.

”Nggak tahu nanti gimana. Sekarang saja ikan sudah sulit didapat. BBM naik lagi. Ya sudah, mau gimana lagi. Maunya ya kerja tiap hari, tapi kalau nggak ada ikan kan nggak bisa dapat uang. Saya sudah biasa hidup susah,” ungkap perempuan berkulit sawo matang itu sambil tersenyum.

Sekarang harga BBM sudah naik. Entah sampai kapan kehidupan perempuan pemepe ikan seperti Ninuk akan mengalami perbaikan. Harapan masih menggantung dan menjadi mimpi.

Affirmative Action Politik Perempuan




KERIUHAN panggung politik pemilihan gubernur memperlihatkan masih minimnya keterlibatan politik perempuan. Di mana hanya ada satu perempuan di antara enam kandidat gubernur dan wakil gubernur. Dunia politik sepertinya bukan kuasa dunia perempuan.

Sebelumnya dalam Pemilu 1999 dan 2004 yang berlanjut dengan pemilihan kepala daerah kabupaten/kota, menunjukkan gejala yang sama. Tingkat keterlibatan perempuan baik sebagai anggota partai politik maupun anggota parlemen serta institusi formal politik lainnya, belum memberikan harapan yang baik bagi keterwakilan perempuan di dalam politik formal.

Di Jawa Tengah, keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah. Padahal, persentase perempuan mencapai 50,19% lebih banyak dibandingkan dengan penduduk pria yang 49,81% dari jumlah penduduk provinsi ini 32 juta jiwa.

Persentasi peranan kaum perempuan di lembaga formal seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) hanya 4,66%, peran kepala desa 2,29%, dan keterwakilan di DPRD Jateng hanya 16%.

Dari hasil studi CETRO (2001), pemilu 2004, harapan mendapat 30% perempuan di DPR hanya terpenuhi 11,27%. Hal ini terjadi karena adanya pelanggaran dalam menetapkan calon tetap anggota legislatif oleh elite-elite partai politik yang diskriminatif terhadap perempuan.

Kasus yang terjadi, perempuan yang daerah pemilihannya sudah memenangkan suara pada pemilu, harus mengalah pada keputusan elite partai politik yang menempatkan laki-laki sebagai calon tetap.

Hal ini dikarenakan partai menempatkan banyak perempuan dalam daftar calon legeslatif, tetapi mendudukkannya pada urutan terbawah. Akibatnya, perempuan yang mendapat suara lebih besar daripada caleg pada nomor urut atas harus memberikan suaranya kepada caleg di nomor atas itu. Sampai memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP).

Keistimewaan

Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, di mana jaminan pelaksanaannya harus ada dalam konstitusi dan UU.

Tuntutan demokrasi, komposisi anggota lembaga perwakilan merupakan refleksi dari komposisi masyarakat. Hal yang serupa pada keterwakilan perempuan. Pentingnya represenstasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik bukan sekadar disuarakannya aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Partai politik, pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat sangat didominisai laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik dan terlalu mendominasi perpolitikan.

Sementara itu, banyak keprihatinan, nilai, kepentingan, aspirasi, dan prioritas perempuan yang membentuk lebih dari separo warga negara dan penduduk di negeri ini diabaikan. Nilai, aspirasi, kepentingan, keprihatinan, dan prioritas perempuan yang berbeda dari laki-laki perlu lebih disuarakan untuk mengimbangi dominasi nilai, aspirasi, kepentingan, dan prioritas laki-laki dalam perpolitikan.

Dalam budaya dan praktik politik yang sangat patriarkis, tanpa penerapan kebijakan afirmatif, maka pemilihan umum atau kepala daerah hanya akan melanggengkan dominasi laki-laki di arena politik. Telah terbukti jika jumlah representasi perempuan di arena politik dan dalam proses pengambilan keputusan signifikan, maka perempuan bisa membuat perbedaan dan mereka bisa memengaruhi keputusan atau kebijakan yang diambil.

Dengan pemahaman sedemikian, aspirasi, kepentingan, kebutuhan, atau prioritas perempuan tidak dapat sekadar diperhitungkan dalam dalam proses pengambilan keputusan, perempuan harus merepresentasikan diri sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan, dan prioritasnya dalam arena pengambilan keputusan. (37)

– Haris Halimi, aktif di Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI)